Wednesday 26 December 2012

RESENSI BUKU



*      Judul Buku                 : AKHLAK TASAWUF
*      Pengarang                  : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.
*      Penerbit           : PT Raja Grafindo Persada Jakarta
*      Cetakan             : 1 (satu)
*      Tahun terbit                : 2008
*      Halaman           : 321



Komentar :

Setelah membaca buku ini, dapat pengetahuan baru mengenai akhlak dan tasawuf, khususnya membantu pada perkuliahan tasawuf ini dan umumnya semoga dapat bermanfaat dalam mengaplikasikannya pada kehidupan sehari-hari.

Kelebihan :
·         Dilengkapi dengan glosarry, sehingga dapat mengetahui arti kata-kata yang kurang dimengerti.
·         Banyak referensi sehingga menambah banyak sumber yang terpercaya.
·         Cara penulisan sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).

Kekurangan :
·         Covernya kurang menarik.
·         Isi, bahasa, serta analisis bukunya kurang memuaskan.
·         Kertasnya mudah sobek.








RANGKUMAN TIAP BAB
Judul Buku   : Akhlak Tasawuf
Pengarang    : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.

BAB 1 PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, DAN MANFAAT MEMPELAJARI ILMU AKHLAK
Kata akhlaq atau khuluq secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, peringai, muru’ah atau segala sesuatu yang telah menjadi tabiat.
Sedangkan Imam al-Ghazali (1059-1111 M) mengatakan bahwa akhlaq,
“ Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
Ada lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlaq, yaitu :
1.    Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2.    Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran.
3.    Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri seseorang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4.    Perbuatan akhlaq adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
5.    Sejalan dengan ciri keempat, perbuatan akhlaq (khususnya akhlaq yang baik) adalah karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian.
Ruang lingkup pembahasan ilmu akhlaq adalah membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia, kemudian menetapkannya apakah perbuatan tersebut tergolong perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk.
Ilmu akhlak bertujuan untuk memberikan pedoman atau penerangan bagi manusia dalam mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk.


BAB 2 HUBUNGAN ILMU AKHLAK DENGAN ILMU LAINNYA
·         Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Dalam tasawuf masalah ibadah sangat menonjol karena dalam tasawuf hakikatnya melakukan serangkaiaan ibadah seperti shalat, puasa, dzikir dsb, semunya dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dalam islam ibadah ini erat sekali dengan pendidikan akhlak yang tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. 

·         Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Tauhid
Yang dibahas dalam ilmu tauhid adalah tentang keimanan sedang dalam akhlak adalah mengenai perbuatan baik. Ilmu tauhid tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akahlak dan ilmu akhalak tampil dalam penjabaran dan pengamalan ilmu tauhid. Tauhid tanpa akhlak mulia tidak akanada artinya dan akhlak mulia tanpa tauhid tidak akan kokoh, tauhid juga memberi arah terhadap akhlak serta akhlak membri isi terhadap arahan tersebut.

·         Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Jiwa
Dalam diri manusia terdapat potensi rohaniah yang cenderung kepada kebaikan dan keburukan, potensi rohaniah ini dikaji dalam ilmu jiwa, untuk mengembangkan ilmu akhlak ini dapat digunakan informasi yang diberikan ilmu jiwa.

·         Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Pendidikan dalam pelaksanaannya memerlukan dukungan dari orang tua di rumah, guru di skolah dan pimpinan atau tokoh di lingkungan masyarakat.Kesemua lingkungan ini merupakan bagian dari integral pelaksanaan pendidikan yang juga merupakan tempat pelaksanaan pendidikan akhlak.

·         Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Filsafat
Dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya. Diantara objek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah tentang manusia, selain itu juga membahas tentang Tuhan, alam dan makhluk lainnya. Dari pembahasan ini dapat diketahui dan dirumuskan tentang cara-cara berhubungan dengan Tuhan dan memperlakukan makhluk serta alam lainnya. Dengan demikian akan dapat diwujudkan akhlak yang baik terhadap Tuhan, manusia dan makhluk lainnya.
BAB 3 INDUK AKHLAK ISLAMI
Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah).
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap ‘adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghasdab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat diperut. Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu memelihara diri dari perbuatan maksiat.

BAB 4 SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU AKHLAK
Sejarah mencatat, bahwa filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di bidang akhlak adalah Socrates (469-399 M). Beliau dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak.
Golongan terpenting yang lahir setelah Socrates dan mengaku sebagai pengikutnya ialah Cynics dan Cyrenics. Golongan Cynics dibangun oleh Antithenes yang hidup pada tahun 444 – 370 SM. Menurut golongan ini bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia adalah orang yang berperangai ketuhanan. Sebagai konsekuensinya, golongan ini banyak mengurangi kebutuhannya terhadap dunia sedapat mungkin, rela menerima apa adanya, suka menanggung penderitaan, tidak suka terhadap kemawahan, menjauhi kelezatan, tidak peduli dengan cercaan orang, yang penting ia dapat berakhlak mulia.
Adapun golongan Cyrenics dibangun oleh Aristippus yang lahir di Cyrena (kota Barka di utara Afrika). Golongan ini berpendapat bahwa mencari kelezatan dan menjauhi kepedihan ialah merupakan satu-satunya tujuan hidup yang benar. Menurutnya perbuatan yang utama adalah perbuatan yang tingkat dan kadar kelezatannya lebih besar daripada kepedihan. Dengan demikian menurutnya kebahagiaan dan keutamaan itu terletak pada tercapainya kelezatan dan mengutamakannya.
Pada tahap selanjutnya datanglah Plato (427 – 347 SM). Ia seorang ahli filsafat Athena dan murid dari Socrates. Plato berpendapat bahwa di dalam jiwa manusia terdapat kekuatan yang bermacam-macam, dan perbuatan yang utama timbul dari kemampuan membuat perimbangan dalam mendayagunakan potensi kejiwaan itu kepasda hukum akal. Berdasar pada teorinya ini, ia berpendapat bahwa pokok-pokok keutamaan ada empat, yaitu hikmah, keberanian, keperwiraan, dan keadilan.
Setelah Plato datang Aristoteles (394 – 322 SM). Sebagai seorang murid Plato. Ia berpendapat bahwa tujuan akhir yang dikehendaki oleh manusiasdari apa yang dilakukannya adalah kebahagiaan. Jalan untuk mencapai kebahagiaan ini adalah dengan mempergunakan akal dengan sebaik-baiknya. Aristoteles juga dikenal sebagai yang membawa teori pertengahan. Menurutnya bahwa tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara kedua keburukan. Dermawan misalnya adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah tengah-tengah antara membabi buta dan takut.
Pandangan akhlak yang terdapat dalam pemikiran Barat tersebut tampak mempertlihatkan coraknya yang amat sekuler, yakni memisahkan pandangan akhlak tersebut dari agama atau wahyu Tuhan. Pandangan akhlak yang dikemukakan para sarjana Barat itu sepenuhnya didasarkan pada pemikiran manusia semata-mata.

BAB 5 ETIKA, MORAL, DAN SUSILA
Dari segi etimologi (ilmu asal-usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Arti etika secara istilah telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Ahmad amin misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Sedangkan menurut istilah moral berarti suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, peringai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam The Asdvanced Leanwer’s Dictionary of Currewnt English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut :
1.    Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk;
2.    Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah;
3.    Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Susila atau kesusilaan berasal dari kata susila yang mendapat awalan ke dan akhiran an. Kata tersebut berasal dari bahasa Sanswekerta, yaitu su dan sila. Su berarti baik, bagus, dan sila berarti dasar, prinsip, peraturan, hidup atau norma.
Kata susila selanjutnya digunakan untuk arti sebagai aturan hidup yang lebih baik. Selanjutnya kata susila dapat pula berarti sopan, beradab, baik budi bahasanya. Dan kesusilaan sama dengan kesopanan.
Dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik buruknya.
Sedangkan perbedaan antara kesemuanya adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruknya. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk itu adalah al-Qur’an dan al-Hadits.




BAB 6 BAIK DAN BURUK
Baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sedangkan dalam Webster’s New Twentieth century dictionary, dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian dan seterusnya. Selanjutnya yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan. Yang baik itu juga berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan sesuatu yang baik dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa secara umum bahwa yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan yang menjadi tujuan manusia.
Beberapa aliran filsafat yang mempengaruhi pemikiran akhlak tersebut dapat dikemukakan secara ringkas sebagai berikut :
1.    Baik Buruk Menurut Aliran Adat-Isstiadat (Sosialisme)
Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat yang dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat-istiadat dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.
2.    Baik Buruk Menurut Aliran Hedonisme
Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis.
Pada tahap selanjutnya paham hedonisme ini ada yang bercorak individual dan universal. Dampak dari kehidupan yang hedonistik ini sudah demikian parah, karena semakin dipersubur dan didukung oleh keberhasilan pembangunan bidang material yang kurang seimbang dengan pembangunan bidang spiritual dan moral.
3.    Baik dan Buruk Menurut Paham Intuisisme (Humanisme)
Perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan penilaian yang diberikan oleh hati nurani atau kekuatan batin yang ada dalam dirinya. San sebaliknya perbuatan buruk adalah perbuatan yang menurut hati nurani atau kekuatan batin dipandang buruk.
4.    Baik dan Buruk Menurut Paham Utilitarianisme
Menurut paham ini bahwa yang baik yang berguna. Orang tua yang sudah jompo misalnya semakin kurang dihargai, karena secara material tidak asa lagi kegunaannya. Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk nasihat dan doanya serta kerelaannya. Nabi misalnya menilai bahwa orang yang baik adalah orang yang memberikan manfaat pada yang lainnya. (HR Bukhari).
5.    Baik dan Buruk Menurut Paham Vitalisme
Menurut paham ini yang baik adalah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia.
6.    Baik dan Buruk Menurut Paham Religiosisme
Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk asalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.
7.    Baik dan Buruk Menurut Paham evolusi (evolution)
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kepada kesempurnaannya.
Dikatakan bahwa perkembangan alam ini didasari oleh ketentuan-ketentuan berikut :
·         Ketentuan alam(swelwexction of naturew);
·         Perjuangan hidup (strungglew for lifwe);
·         Kekal bagi yang lebih pantas (survival for thwe fit tewst);
Baik dan buruk menurut ajaran islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk al-Qur’an dan al-Hadits. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-Hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmusdah, azizah dan al-birr.

BAB 7 KEBEBASAN, TANGGUNGJAWAB, DAN HATI NURANI
Kebebasan mempunyai pengertian sebagaimana di kemukakan oleh Ahmad Charris Zubair yaitu terjadi apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak dibatasi oleh suatu paksaan dari atau ketertarikan kepada orang lain. Paham ini disebut paham negatif, karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Seseorang disebut bebas apabila ;
(1) Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuannya dan apa yang dilakukannya,
(2) Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang tersedia baginya,
 (3) Tidak terpaksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang tidak akan dipilihnya sendiri ataupun dicegah dari berbuat apa yang dipilihnya sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.
Misalnya keterbatasan dalam menentukan jenis kelaminnya, keterbatasan kesukuan kita, keterbatasan asal keturunan kita, bentuk tubuh kita, dan sebagainya.
Dilihat dari sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi tiga, pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Kedua, kebebasan kehendak (rohaniah), yaitu kebebasan untuk menghendaki sewsuatu. Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan, dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik.
Dalam rangka tanggungjawab itu, kebebasan mwengandung arti : (1) Kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, (2) Kemampuan untuk bertanggungjawab (3) Kedewasaan Manusia, (4) Keseluruhan konsdisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya.
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan.
Karena sifatnya yang dwemikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah-satu sdasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.
Dari pemahaman kebebasan yang demikian itu, maka timbullah tanggungjawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati nurani dan moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan, tanggungjawab, dan hati nurani.
Hubungan kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani dengan akhlak, bahwa perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlak atau perbuatan yang dapat dinilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan tulus dan ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya demikian baru bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau kehendak yang timbul dalam dirinya sendiri.



BAB 8 HAK, KEWAJIBAN, DAN KEADILAN
Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat mengerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menuntut sesuatu.
Hak dapat diartikan wewenang atau kekuasaan yang secara etis seseorang dapat menegerjakan, memiliki, meninggalkan, mempergunakan atau menentukan sesuatu. Dari segi objek dan hubungannya dengan akhlak, hak dapat dibagi menjadi 7 yaitu hak hidup, hak mendapat perlakuan hukum, hak menegmbangkan keturunan, hak milik, hak mendapat nama baik, hak kebebasan berfikir dan hak mendapat kebenaran.
Hak merupakan wewenang bukan kekuatan maka ia merupakan tuntutan dan terhadap orang lain hak itu menimbulkan kewajiban yaitu kewajiban terlaksananya hak-hak orang lain. 
Keadialan dapat dirtiakan sebagai istilah yang digunakan untuk menunjukan pada persamaan atau bersikap tengah-tengah atas 2 perkara.
Hubungan hak,  kewajiban,  keadilan dengan akhlak, yaitu Akhlak yang mendarah daging kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang yang dengannya timbul kewajiban untuk melaksanakan tanpa merasa berat. Dengan terlaksananya hak, kewajiban dan keadialan akan tercipta perbuatan yang akhlaki.

BAB 9 AKHLAK ISLAMI
Akhlak islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sebenarnya didasarkan pada ajaran islam.
Dengan kata lain akhlak islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mangakui nilai-nilai bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu.
Ruang lingkup akhlak islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/islam) mencakup berbagai aspek, diantaranya :

(1)  Akhlak terhadap Allah
Dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Sikap atau perbuatan tersebut memiliki ciri-ciri perbuatan akhlaki.
(2)  Akhlak terhadap sesama manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan mencweritakan aib seseorang dibelakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti itu. (QS. Al-Baqarah, 2:263)
(3)  Akhlak terhadap lingkungan
Pada dasarnya akhlak yang diajarkan al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dengan demikian akhlak islami itu jauh lebih sempurna dibandingkan dengan akhlak lainnya. Jika akhlak lainnya harus berbicara tentang hubungan dengan manusia, maka akhlak islamipun berbicara pula tentang cara berhubungan dengan binatang, tumbuh-tumbuhan, air, udara, dan lain sebagainya. Dengan demikian, masing-masing makhluk akan merasakan fungsi dan eksistensinya di dunia ini.

BAB 10 PEMBENTUKAN AKHLAK
Apakah akhlak itu bisa dibentuk atau tidak ? Menurut sebagian ahli bahwa akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Maka akhlak akan tumbuh dengan sendirinya, walaupun tanpa dibentuk atau diusahakan. (ghair muktasabah).
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari didikan, latihan, pembinaan, dan perjuangan keras, dan sungguh-sungguh.
Pembinaan akhlak dalam islam juga terintegrasi dengan pelaksanaan rukun islam. Rukun islam yang pertama adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat ini mengandung pernyataan bahwa selama hidupnya hanya tunduk kepada aturan dan tuntutan Allah. Orang yang tunduk dan patuh pada aturan Allah dan Rasul-Nya sudah dapat dipastikan akan menjadi orang yang baik.
Selanjutnya yang kedua adalah mengerjakan shalat lima waktu. Shalat yang dikerjakan akan membawa pelakunya terhindar dari perbuatan yang keji dan munkar. (QS. Al-Ankabut, 29:45)
Selanjutnya dalam rukun islam yang ketiga, yaitu zakat juga mengandung didikan akhlak, yaitu agar orang yang melakukannya dapat membersihkan dirinya dari sifat kikir, mementingkan diri sendiri, dan membersihkan hartanya dari hak orang lain, yaitu hak fakir miskin dan seterusnya.
Begitu juga islam mengajarkan ibadah puasa sebagai rukun islam yang keempat, bukan hanya sekedar menahan diri sari makan dan minum dalam waktu yang terbatas, tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan diri dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang.
Selanjutnya rukun islam yang kelima asdalah ibadah haji. Dalam ibadah haji inipun dinilai pembinaan akhlaknya lebih besar lagi dibandingkan dengan nilai pembinaan akhlak yang ada pada ibadah dalam rukun islam lainnya.
Cara lain yang dapat ditewmpuh untuk pembinaan akhlak ini adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara kontinyu.
Dalam tahap-tahap tertentu, pembinaan akhlak, khususnya akhlak lahiriah dapat pula dilakukan dengan cara paksaan yang lama kelamaan tidak lagi terasa dipaksa.
Cara lain yang tak kalah ampuhnya dari cara-cara di atas dalam hal pembinaan akhlak ini adalah melalui keteladanan.
Selain itu pembinaan akhlak dapat pula ditempuh dengan cara senantiasa menganggap diri ini sebagai yang banyak kekurangannya daripada kelebihannya. Pembinaan akhlak secara efektif dapat pula dilakukan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan akhlak, pertama aliran Nativisme, kedua aliran empirisme, dan ketiga aliran konvergensi.
Menurut aliran Nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari dalam yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat, akal, dan lain-lain. Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia, dan hal ini kelihatannya erat kaitannya dengan pendapat aliran intuisisme dalam hal penentuan baik dan buruk.
Selanjutnya menurut aliran empirisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan.
Aliran konvergensi berpendapat pembinaan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan watak si anak, ada faktor dari luar yaitu pendidikan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Aliran ini tampak sesuai dengan ajaran islam, yaitu pada QS. Al-Nahl, 16:78. Kesesuaian teori konvergasi tersebut juga sejalan dengan hadits Nabi.
“ Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan (menbawa) fitrah (rasa ketuhanan, dan kecenderungan kepada kebenaran), maka kesdua orang tuanyalah yang membentuk anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari).
Akhlak yang mulia dapat bermanfaat :
1.    Memperkuat dan menyempurnakan agama
2.    Mempermudah perhitungan amal di akhirat.
3.    Menghilangkan kesulitan
4.    Selamat hidup di dunia dan akhirat.

BAB 11 ARTI, ASAL-USUL DAN MANFAAT TASAWUF DALAM ISLAM
Dari segi linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli  amat bergantung pada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Ada sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mensdefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
Dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang maka tasawuf dapat diartikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepda Allah SWT. Sedangkan jika dari sudut pandang manusia sebagai makhluk ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar swelalu dekat dengan Tuhan.
Sumber tasawuf :
(1)  Unsur Islam
(2)  Unsur luar islam
·         Unsur Masehi
·         Unsur Yunani
·         Unsur Hindu/Budha
·         Unsur Persia
Pertama bahwa kehidupan kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang kebahagiaanya amat bergantung kepada selamat rohani manusia dari perbuatan dosa dan pelanggaran.
Kedua bahwa kehidupan yang hakiki dalam kehidupan di sdunia ini sebenarnya terletak pada ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan kepada Tuhan.
Ketiga bahwa dalam perjalanan hisdupnya manusia akan sampai pada batas-batas di mana harta benda, seperti tempat tinggal yang serba mewah, pakaian yang serba lux, dan lain sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, dan lain sebagainya. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan kecuali dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan, tempat ia harus mempertanggungjawabkan amalnya.
Keempat dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh berbagai paham sekuler seperti materialisme (memuja materi), hedonisme (mwemuja kepuasan nafsu), vitalisme (memuja kepwerkasaan), dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam dan lain sebagainya.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai bagian integral dari ajaran islam, bahkan ia harus dilwetakkan pada barisan yang paling depan dalam menyelamatkan kehidupan manusia dari bahaya kehancuran dan kesangsaraan di sdunia dan akhirat.

BAB 12 MAQAMAT DAN AHWAL
            Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjtnya digunakan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Banyak para sufi yang menggolongkan maqamat kedalam beberapa tingkatan, namun ada tingkatan maqamat yang telah disepakati oleh para sufi, tingkatan tersebut yaitu :
(1)  Al-Zuhud
Secara harfiah al-Zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.
(2)  Al-Taubah
Berasal dari bahasa Arab taba, yatubu, taubatan, yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksusd oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.
(3)  Al-Wara
Secara harfiah al-wara artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, menjauhi hal-hal yang tidak baik.
(4)  Kefakiran
Menurut para sufi kefakiran adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada kita.


(5)  Sabar
Secara harfiah berarti tabah hati. Menurut Zun al-nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapat cobaan dan menampakan sikap cukup walaupun sebenarnya kefakiran di dalam hal ekonominya.
(6)  Tawakkal
Secara harfiah, menyerahkan diri.
(7)  Kerelaan
Secara harfiah ridla, artinya rela, ikhlas, suka, senang,.
Hal menurut Harun Nasution merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut dengan hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-Wajsd), berterimakasih (al-Syukr).

BAB 13 MAHABBAH
Mahabah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam. Mahabah juga diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang hanya mencintai Tuhan, tidak ada yang lainnya yang dicintainya. Paham ini dibawa oleh Rabi’ah Al-Adawiyah. Harun Nasution mengatakan ada tiga alat untuk berhubungan dengan Tuhan yaitu Al-qalbu (hati sanubari) sebagai alat-alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh sebagai alat mencintai Tuhan dan Sir untuk melihat Tuhan.

BAB 14 MA’RIFAH
Ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan.Ma’rifah artinya pengetahuan atau pengalaman. Dalam arti sufistik ma’rifah diartiakan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Alat yang digunakan untuk mencapai ma’rifah yaitu qalb karena selain untuk merasa juga alat untuk berfikir. Tokoh yang mengembangkan ma’rifah yaitu Al-Ghazali dan Zun Al-nun al-misri. Menutut al-Quran dan hadis Ma’rifah memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal manusia caranya dengan mngenal dan meneliti ciptaannya, jadi ma’rifah tidak bertentangan dengan ajaran islam.
BAB 15 AL-FANA, AL-BAQA DAN ITTIHAD
Fana adalah lenyapnya sifat-sifat basyariah, akhlak tercela.Kebodohan dan perbuatan maksiat dari diri manusia, sedangkan baqa adalah sifat-sifat ketuhanan, akhlak terpuji, ilmu pengetahuan dan kebersihan diri dari dosa dan maksiat. Untuk mencapai baqa ini perlu dilakukan usaha-usaha seperti bertaubat, berdzikir, ibadah dan menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji .
Orang yang pertama memperkenalkan faham fana dan baqa ini adalah Abu Yazid Al-Bustomi. Dan ittihad adalah suatu faham yang menyatakan bahwa Tuhan dan manusia dapat mencapai kesatuan rohaniah setelah manusia melenyapakan sifat-sifat dirinya, akhlak yang buruk dan dosa (fana). Paham ini juga dibawa oleh Abu Yazid Al-Bustomi.

BAB 16 AL-HULUL
Halul adalah suatu faham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat mengambil tempat pada diri manusia. Paham in dibawa oleh Al-Hallaj. Hulul terjadi apabila manusia terlebih dahulu melenyapkan sifat-sifat negatif, dosa dan kemanusiaanya secara fisik (fana). Dalam faham Al-Hulul yang dikemukakan Al-Hallaj ada dua hal yang perlu dicatat yaitu pertama bahwa paham al-hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari faham mahabbah sebagaimana disebutkan dibawa Robiah Al-Adawiyah., kedua al-hulul mengambarkan adanya Ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan.

BAB 17 WAHDAT AL-WUJUD
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud berarti ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nasut yang ada dalam hululdirubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang disebelah luar disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan padanan kata al-‘arads (accident) dan al-jauhar (substance) dan al-zahir (lahir-luar-tampak), dan al-batihin (ada, tidak tampak).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-khalq (makhluk) al-‘arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-jauhar (Substance-hakikat), dan al-Bathin (dalam).
Paham wahdatul wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan di sana ia masuk alisan sufi. Di tahun 1202 M, ia pergi ke Mekkah dan meninggal di damasskus di tahun 1240 M. Selain sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, diantaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada juga yang merupakan ensiklopesdia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al-Makkah.

BAB 18 INSAN KAMIL
Insan kamil berasal dari kata insan dan kamil, secara harfiah insan artinya manusia dan kamil artinya sempurna. Jadi insan kamil artinya manusia yang sempurna. Insan kamil juga berarti manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah serta dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak islami.
Ciri-ciri Insan Kamil, diantaranya :
1.    Berfungsi akalnya secara optimal
2.    Berfungsi intuisinya
3.    Mampu menciptakan budaya
4.    Menghiasi diri dengan sifat-sifat ketuhanan
5.    Berakhlak mulia serta berjiwa seimbang





BAB 19 TARIKAT
Dari segi bahasa tarikat berasal dari bahasa arab thariqat yang artinya jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu. Tarikat pada mulanya merupakan jalan yang ditempuh oleh seorang sufi untuk mencapai tingkat mukasyafah (terbukanya tabir pemisahantara manusia dengan Tuhan), tetapi menjadi suatu istilah yang menggambarkan  kehidupan tasawuf sebagai sebuah lembaga yang memiliki sistem wirid, guru, tata tertib dan lainya.

Tata cara pelaksanaan tarikat yaitu dzikir (ingat yang terus menerus kepada Allah dalam hati serta menyebut namanya), ratib (mengucap lafal la ilaha illallah dengan gaya gerak dan irama tertentu), munzik (membacakan wirid dan syair tertentu diiringi bunyi-bunyian seperti rebana), menari (gerak yang dilakukan mengiringi wirid dan bacaan tertentu untuk menimbulkan kehidmatan), bernafas (mengatur cara bernafas pada waktu melakukan dzikir tertentu).

BAB 20 PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN DAN PERLUNYA AKHLAK TASAWUF
Secara harfiah Pengertian masyarakat modern berarti suatu himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Ciri-ciri modern ini yakni bersifat rasional, berfikir untuk masa depan, menghargai waktu, bersifat terbuka, berfikir objektif dsb.
Problematika masyarakat modern, yaitu :
1.    Disintegrasi ilmu pengetahuan, yaitu masing-masing ilmu pengetahuan memiliki cara pandangnya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2.    Kepribadian yang terpecah
3.    Penyalahgunaan IPTEK
4.    Pendangkalan iman
5.    Pola hubungan materialistic
6.    Menghalalkan segala cara
7.    Stress dan frustasi
8.    Kehilangan harga diri dan masa depannya.
                              

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Catatan Informatika