BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum
muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus
mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka agar mereka memperoleh
kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama
ini kaum muslimin tidak hanya
mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga
telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Upaya itu telah
mereka laksanakan sejak Nabi Muhammad SAW masih berada di Mekkah dan belum
berhijrah ke Madinah hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah
mereka laksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini. Mengenai mengerti
asbabun nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang mengatakan,
bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun al-Qur’an itu tidak
berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an
itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis
ialah menghilangkan kesulitan dalam memberikan arti ayat-ayat al-Qur’an.
Imam al-Wahidi menyatakan; tidak mungkin orang mengerti tafsir suatu ayat,
kalau tidak mengetahui ceritera yang berhubungan dengan ayat-ayat itu, tegasnya
untuk mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu harus
mengetahui sebab-sebab ayat itu diturunkan.
Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami ayat, mereka segera
kembali berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara ini hilanglah semua
kesulitan yang mereka hadapi dalam mempelajari al-Qur’an tentang “Asbabun
Nuzul”.
Dalam hal ini kelomok kami mencoba menuangkan dalam bentuk makalah yang
berjudul “ASBABUN NUZUL” dengan harapan semoga makalah ini dapat
menambah keimanan dan keilmuan kita baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Aamiin.
1.2 Tujuan
Dalam makalah ini kami menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan Asbabun
Nuzul. Penyusunan makalah ini bertujuan, diantaranya :
·
Mempelajari sebab-sebab
turunnya al-Qur’an secara mendetail.
·
Mengetahui sejarah
sebab-sebab turunnya al-Qur’an, sehingga dapat bercermin dari kejadian-kejadian
sebelumnya telah terjadi, yang di ceritakan di dalam Al-Qur’an agar tidak
mengulangi kesalahan yang sama dikehidupan mendatang.
·
Mengaplikasikan dan
mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam asbabun nuzul sehingga dapat
menjadikan amalan sunnah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Asbabun Nuzul
Secara etimologis, asbabun nuzul ayat itu berarti sebab-sebab turun ayat.
Dalam pengertian sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa,
sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut itu tidak turun. Sedangkan menurut Subhi Shalih misalnya menta’rifkan
(ma’na) sababun nuzul ialah:
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan
hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
Yakni, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi SAW, atau sesuatu
pertanyaan yang dihdapkan kepada Nabi dan turunlah suatu atau beberapa ayat
dari Allah SWT yang berhubungan dengan kejadian itu, atau dengan jawaban
pertanyaan itu baik peristiwa itu merupakan pertengkaran, ataupun merupakan
kesalahan yang dilakukan maupun suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik.
Sementara itu, ada beberapa pengertian lain tentang asbabun nuzul. Dimana
kata “sabab” telah menjadi bahasa Indonesia, sedangkan sabab nuzul artinya
sebab turunnya al-Quran. Menurut terminologi, sabab nuzul mempunyai pengertian
sebagai berikut :
Apa-apa yang diturunkan
dalam al-Quran berupa jawaban atau keterangan mengenai persoalan maupun
peristiwa. As-Suyuthi
mengemukakan bahwa : Sabab nuzul
merupakan perkara mengenai turunnya ayat al-Quran yang didapat dari
sahabat-sahabat nabi dengan syarat-syarat tertentu yang diambil berdasarkan
keputusan (sahih dan tidaknya). Dalam pengertian tersebut ada beberpa point
yang jelas seperti riwayat sahabat yang te;ah dinyatakan kebenarannya, jawaban
atas pertanyaan, peristiwa yang berkaitan dengan turunnya ayat. Maka Dr. Subhi
Shaleh mengemukakan bahwa pengertian sabab nuzul adalah ”Suatu perkara yang menyebabkan turunnya ayat baik berupa jawaban, atau
sebagai penjelasan yang diturunkan pada
waktu terjadinya suatu perkara”.
Definisi yang dikemukakan ini dan yang diistilahi, menghendaki supaya
ayat-ayat Al-Qur’an, dibagi dua:
- Ayat yang ada
sebab nuzulnya.
- Ayat yang tidak
ada sebab nuzulnya.
Memang demikianlah ayat-ayat al-Qur’an. Ada yang diturunkan tanpa didahului
oleh sesuatu sebab dan ada yang diturunkan sesudah didahului sebab. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus
mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan.
Karena timbul suatu peristiwa dan kejadian. Oleh karena
itu, tujuan studi al-Qur’an mencakup beberapa permasalahan yang hendaknya harus
dipelajari bukan saja masalah asbabun nuzul. Tetapi juga mempelajari masalah
bagaimana cara membaca al-Qur’an, bagaimana tafsirnya dan juga tidak kalah
penting masalah nasakh dan mansukh.
Pembahasan dimensi sejarah dan kisah-kisah al-Qur’an ini tidak dimaksudkan
untuk mempelajari makna historis kisah-kisah al-Qur’an. Namun di sini akan
mencoba mengungkapkan nilai historis sejarah turunnya suatu ayat. Ada perselisihan pendapat di antara ulama tafsir, pada
ungkapan sahabat: “Turunnya ayat ini dalam kasus begini”. Apakah pengertian ini
masuk dalam musnad yakni sesuai bila disebutkan dengan tegas, bahwa turunnya
ayat ini berkaitaan erat dengan kasus tersebut. Jadi masalah
mempelajari turunnya suatu ayat bukan hanya dipahami sebagai doktrin normatif
semata, tetapi juga harus dapat dikembangkan menjadi konsepsi operatif.
2.2 Latar Belakang Turunnya Ayat al-Quran
Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali
dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh
karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi objek perhatian para ulama. Bahkan
segolongan diantara mereka ada yang mengklarifikasikan dalam suatu naskah,
seperti Ali Al-Maidienie, guru besar imam Bukhari.
Dari sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah:
karangan Al-Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun
dalam suatu kitab besar dengan judul “Lubaabun Nuquul fie Asbabin Nuzul”.
Boleh dikata, untuk mengetahui secara mendetail tentang aneka corak
ilmu-ilmu al-Qur’an serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui
asbabun nuzul.
2.3 Macam-macam Asbabun
Nuzul
Telah terjadi ketika turunnya Al-Qur’an yang merupakan suatu pertanyaan
yang ditunjukan kepada Rasulullah SAW, dengan hal tersebut, maka turunlah ayat,
sebagai penjelasan atas kejadian atau jawaban atas pertanyaan.
Pertama : Turunnya Al-Qur’an
merupakan suatu kejadian tertentu, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dari
Ibnu Abbas r.a, ketika turunnya ayat (dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu
yang terdekat) as-Syua’aro : 214 (وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ).
Kedua : diturunkan Al-Qur’an
merupakan sebab atas terjadinya suatu yang munkar. Sebagaimana dijelaskan oleh
al-Wahidi, diriwayatkan dari Atha’ dari Abu Abdurahman, berkata ia : suatu hari
Abdurahman bin A’uf membuat makanan, minuman, dan memanggil beberapa
kawan-kawan, untuk itu, kemudian datanglah waktu shalat maghrib, maka shalatlah
mereka dengan imam, dengan membaca surat al-Kafirun ( tidak membaca La
dalam la’abudu dalam ayat itu ), maka turunlah firman Allah ( wahai
orang-orang yang beriman janganlah kalian mendekati shalat sedangkan kamu
sekalian mabuk, hingga kalian mengetahui apa yang kalian katakan ). Dalam surat
An-Nisa’ : 43, demikian diturunkan ayat itu, karena shalat adalah ibadah yang
suci, maka tidak pantas bagi seorang yang akil-balig mendatangi Allah dalam
beribadah, dalam keadaan mabuk dan hilang akal.
2.4 Faedah Mempelajari Asbab Nuzul
Pertama : Mengetahui hikmah
diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara’ terhadap kepentingan umum dalam
menghadapi segala peristiwa karena sayangnya kepada umat.
Kedua : Membantu dan
mempermudah pemaham ayat-ayat Al-Qur’an dengan pemahaman benar, dan
menghilangkan segala bentuk keraguan, karena tidak mungkin seseorang bisa
memahami hukum dengan benar kecuali setelah mengetahui asbab nuzulnya.
Ketiga : Faedah yang lain,
adalah untuk mengkhususkan ( membatasi ) hukum yang diturunkan dengan sebab
yang terjadi, bila hukum itu dinyatakan dengan bentuk yang khusus.
Keempat : Faedah asbab nuzul
yang lain, penjelasan hukum baru. Contoh tentang niat menjadi syarat landasan
diberikannya pahala. Sebagaimana turunnya firman Allah SWT, An-Nisa : 100
وَمَن يُهَاجِرْ فِي
سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ
مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ
فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا
Kelima : sebagai tanggapan atas suatu peristiwa. Misalnya
peristiwa terjadi kemudian al-Quran diturunkan sesuai dengan perkara tersebut.
Seperti dalam hadis :
Ibnu Abbas berkata : ketika diturunkannya
ayat QS as-Syura : 214 : Rasulullah keluar menuju bukit Shafa, dan memanggil
mereka : Ya shabahaah : maka mereka berkumpul kepadanya lalu beliau berkata :
Apakah pendapat kalian seandainya aku beritahukan pada kalian bahwa seekor
keledai telah keluar dari belakang gunung ini apakah kalian percaya padaku?
Mereka berkata : Kami tidak pernah melihat Anda berbohong? Beliau berkata lagi
: Sesungguhnya aku memberi peringatan kepada kalian bahwa ( Allah akan
memberikan ) ditanganku adzab yang pedih. Lalu Abu Lahab berkata : Celakalah
engkau, apakah untuk ini kemu kumpulkan kami? Kemudian beliau berdiri, maka
turunlah QS al-Lahab : 1-5. (HR. Bukhari Muslim dll)
Keenam : Bila Rasulullah ditanya tentang suatu hal maka
turun al-Quran menjelaskan hukum tersebut, sebagai keterangan mengenai hukum
yang dipakai dalam syariat hukum Islam, dan upaya menjaga keshahihan hukum.
Seperti halnya Khaulah binti Tsa’labah ketika suaminya melakukan dhahir (
menyerupakan ibunya ) Aus bin Shamit :
Dari Aisyah berkata : Mulialah yang luas
pendengaranNya terhadap segala sesuatu, sesungguhnya aku mendengar perkataan
Khaulah binti Tsa’labah dan ia menyembunyikan terhadap yang lain, dan ia
mengadukan perlakuan suaminya kepada Rasulullah saw. ia berkata : Wahai
Rasulullah, ia telah menghabisi keperawananku dan perutku telah membuncit dan
ketika aku telah besar dan anakku telah putus ( lahir ) ia mendhahirku! Semoga Allah membenarkan apa yang aku laporkan ini, ia
berkata : tidak begitu lama turun ayat : Qad samiallaahul latii tujadiluka fii
zaujihaa.. dia yaitu Aus bin Shamit ( HR Ibnu Majah dan Ibnu Abi Hatim dan
Hakim, Mardawiyah dan Baihaqi)
Ketujuh : Sebagai takhsis atau pengkhususan bila ayat
tersebut berbentuk umum, pada saat mereka melihat kekhususan yang menjelaskan
keumuman lafadz. Hal ini masalah khilafiyah. Contohnya firman Allah QS. Ali
Imran : 188 :
“Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang
yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya
dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka
bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih”.
Kedelapan : sebagai rujukan resmi dari Rasul, bila lafadznya aam dan Hadis
menyatakan kekhasannya maka pengetahuan sabab ini memperpendek takhsis itu, yang
telah digambarkan, dan tidak sah pengeluarannya ( ijtihad ), karena penjelasan
mengenai takhsis aam bersifat qathie, maka tidak boleh diperluas dengan ijtihad
karena ijtihad bersifat dzannie (spekulatif). Ini pendapat para jumhur.
Contohnya QS An-Nuur : 23-25 :
الدُّنْيَا فِي لُعِنُوا الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُحْصَنَاتِ يَرْمُونَ الَّذِينَ إِنَّ
.عَظِيمٌ عَذَابٌ وَلَهُمْ وَالآخِرَةِ
.يَعْمَلُونَاكَانُوبِمَا وَأَرْجُلُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ عَلَيْهِمْ تَشْهَدُ يَوْمَ
.الْمُبِينُ الْحَقُّ هُوَ اللَّهَ أَنَّ وَيَعْلَمُونَ الْحَقَّ دِينَهُمُ اللَّهُ يُوَفِّيهِمُ يَوْمَئِذٍ
“ Sesngguhnya orang yang menuduh (berzina) perempuan
baik yang tidak tahu menahu dan beriman, mereka kena laknat di dunia dan
akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari (ketika) lidah, tangan, dan
kaki mereka menjadi saksi atas mereka mengenai apa yang telah mereka kerjakan
dulu. Pada hari itu Allah akan memberi mereka balasan setimpal menurut yang
semestinya, dan tahulah, mereka bahwa Allah lah Yang benar, lagi Yang
menjelaskan segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya”. (QS An-Nur 24 : 23-25)
Kesembilan :
Asbabun Nuzul sebagai penjelasan kepada siapa ayat itu ditujukan. Seperti yang
disebutkan dalam firman Allah QS al-Ahqaf : 17 :
“Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya:
"Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku
bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat
sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya
mengatakan, "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah
benar". Lalu dia berkata: "Ini tidak lain hanyalah dongengan
orang-orang yang dahulu belaka".
2.5 Beberapa Riwayat Mengenai Asbabun Nuzul
Terkadang terdapat
banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap
seorang mufasir kepadanya sebagai berikut :
·
Apabila
bentuk-bentuk redaksi ayat tersebut tidak tegas, seperti : “ Ayat ini turun
mengenai urusan ini”, atau “ Aku mengira
ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka diantara hal ini tidak ada
kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu; sebab maksud riwayat-riwayat tersebut
adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk kedalam makna ayat dan
disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah
atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab
nuzul.
·
Apabila
salah satu bentuk redaksi riwayat tersbut tidak tegas, misalnya “ Ayat ini
turun mengenai urusan ini “; sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul
dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan
adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain
dipandang termasuk didalam hukum ayat. Contohnya adalah riwayat tentang sebab
nuzul firman Allah :
“Istri-istrimu adalah ibarat
tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam
itu bagaimana saja kamu kehendaki”. (al-Baqarah:223)
Dari Nafi’ disebutkan : “Pada suatu hari aku membaca (Istri-istrimu adalah ibarat tanah tempat
kamu bercocok tanam), maka kata Ibn Umar : “ Tahukah engkau mengenai apa
ayat ini turun?” Aku menjawab : “ Tidak
“. Ia berkata : ‘ Ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi istri dari
belakang.” Bentuk redaksi riwayat dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas
menunjukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas
menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui
Jabir dikatakan : “Orang-orang Yahudi berkata : “Apabila seorang laki-laki
mendatangi istrinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling.”
Maka turunlah ayat (Istri-istrimu adalah
ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok
tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki)”, Maka Jabir inlah yang dijadikan
sebagai pegangan, karena ucapannya inilah merupakan pernyataan tegas tentang
sebab nuzul. Sedang ucapan Ibn Umar, tidakalah demikian; karena itulah ia
dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
·
Apabila
riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang satu riwayat
diantaranya itu sahih, maka yang menjadi pegangan itu riwayat yang sahih. Misalnya yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, dan ahli hadis lainnya, dari Jundub al-Bajali :
“ Nabi menderita sakit, hingga dua atau tiga malam tidak bangun
malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata : “ Muhammad,
kurasa setanmu telah meninggalkanmu; selama dua tiga malam ini sudah tidak
mendekatimu lagi”. Maka Allah menurunkan firman ini ( Demi waktu duha; dan demi malam apabila telah sunyi; Tuhanmu
meninggalkanmu dan tidaklah benci kepadamu).”
Sementara itu, Tabrani
dan Ibn Abi Syaibah meriwayatkan, dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari
budak perempuannya pembantu Rasulullah :
“Bahwa seekor anak
anjing telah masuk ke dalam rumah nabi, lalu mausk ke kolong tempat tidur dan
mati. Karenanya selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata :
“Khaulah, apa yang terjadi di rumah Rasulullah ini? Sehingga Jibril tidak
datang kepadaku!” dalam hati aku berkata : ‘ Alangkah baiknya andai aku
membenahi rumah ini dan menyapunya’. Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya,
maka aku keluarkan seekor anak anjing. Lalu datanglah nabi sedang janggutnya
bergetar. Apabila turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah menurunkan ( Demi waktu duha ) sampai dengan ( sampai hatimu menjadi puas )”.
Ibnu Hajar dalam Syarah Bukhari berkata : “ Kisah
terlambatnya Jibril karena adanya anak aning itu cukup mashyur. Tetapi bahwa
kisah itu dijadkan sebagai sebab turun ayat adalah suatu hal yang ganjil ( garib ). Dalam isnad hadis itu terdapat
orang yang tidak dikenal. Maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalam Sahih Bukhari dan Muslim.
·
Apabila
riwayat-riwayat itu sama-sama sahih namun terdapat segi yang memperkuat salah
satunya, seperti kehadiran perawi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari
riwayat-riwayat itu itu lebih sahih, maka riwayat yang kuat itu yang
didahulukan. Contohnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn
Mas’ud yang mengatakan :
“ aku berjalan dengan nabi di Madinah. Ia berpegang pada tongkat
dari pelepah pohon kurma. Dan ketika melewati serombongan oarng-orang Yahudi,
seseorang diantara mereka berkata, ‘lalu mereka menanyakan : “Ceritakan kepada
kami tentang roh”, Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa
wahyu tengah turun kepadanya. Wahtu itu turun hingga selesai. Kemudian ia
berkata : (“Katakanlah : roh itu termasuk urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberi
pengetahuanmelainkan sedikit).” ( al-Isra’:85).
·
Apabila
riwayat-riwayat tersebut sama kuat, maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau
dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah
terjadi dua sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan.
Misalnya, “Dan orang yang menuduh
istrinya berbuat zina...”(an-Nur:6-9). Bukhari, Tirmidzi, dan Ibn Majah
meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah
yang menuduh istrinya telah berbuat serong dengan Syuraik bin Sahma’, dihadapan
Nabi, seperti telah kami sebutkan diatas.
·
Bila
riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara
sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian dibawa kepada atau
dipandang sebagai banyak dan berulangnya nuzul. Ringkasnya, bila sebab nuzul
sesuatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula
semuanya tegas dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya
tegas dalam menunjukkan sebab :
A.
Apabila
semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk
membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat.
B.
Apabila
sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah
yang tegas.
C.
Apabila
semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya sahih
atau semuanya sahih. Apabila salah satunya sahih sedang yang lain tidak, maka
yang sahih itulah yang menjadi pegangan.
D.
Apabila
semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin.
E.
Bila
tidak mungkin dengan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin.
F.
Bila
tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu dalam setiap riwayat
terdapat keterangan.
BAB III
P E N U T U P
3.1 Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi
Muhammad Saw dengan perantaraan Malikat Jibril As. disampaikan secara mutawatir
dan bernilai ibadah bagi yang membacanya baik di dalam shalat maupun di luar
shalat. Al-Qur’an yang memiliki cita-cita para Nabi, dan menguraikan masalah
hukum-hukum dan lain-lain ternyata ayat tersebut memiliki kekhasan tersendiri,
di antaranya:
a. Masalah asbabun nuzul ayat yaitu
sebab-sebab ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
b. Adapun asbabun nuzul mempunyai ruang
lingkup pembahasan yang berkaitan langsung dengan peristiwa diturunkannya ayat
al-Qur’an terutama dalam hubungan peristiwa dan ungkapan kata, baik teks ayat,
maupun redaksi ayat.
Asbabun nuzul juga mengungkapkan ilmu tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an
dimana para ulama berpedoman langsung kepada riwayat yang shahih yang berasal
dari Nabi Saw atau dari shabat sejak zaman tarikh Islam klasik yang berisikan
kisah-kisah nuzulnya ayat mengenai asbabun nuzulnya suatu ayat terkadang para
ulama telah terjadi perbedaan pendapat, misalnya:
a. Apabila bentuk-bentuk redaksi ayat
itu tidak tegas, seperti “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini” maka
dalam hal ini tidak ada kontradiksi.
b. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat
itu tidak tegas, seperti “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, sedang riwayat
lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama,
maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara
tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat.
c. Para perawi dan kita sekarang dapat
membaca dan meneliti keabsahan berita tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu,
dan dengan demikian dapat memahami al-Qur’an dengan baik. Itulah urgensinya
mengetahui asbabun nuzul.
3.2 Saran
Setelah membaca dan memahami isi makalah ini pembaca diharapkan dapat
mengetahui bagaimana sejarah al-Qur’an diturunkan, sehingga kita dapat
mempelajari dan memahami agar tidak terulang di kehidupan yang akan datang.
Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam penulisan
makalah ini demi perbaikan di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Aththar, Dawud, Dr., Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, Pengantar DR. M.
Quraish Shihab, Beirut, Pustaka Hidayah, 1979.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera Antarnusa,
Pustaka Islamiyah, 1973.
Ash-Shabunie, Moh. Ali, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Surabaya,
Al-Ikhlas, 1983.
Ash-Shidieqy, T. M. Hasbi, Prof., Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Media Pokok
dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
As-Shalih, Subhi, Dr., Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Beirut,
Pustaka Firdaus, 1985.
Athaillah, A., Sejarah Al-Qur’an dan Verifikasi Tentang Otentitas
Al-Qur’an, Banjarmasin, Antasari Press, 2007.
Bakar, Rohadi Abu, Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat
Al-Qur’an), Semarang, Wicaksana, 1986.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan
Penyelenggara Al-Qur’an, 1997.
Hadits Riwayat Bukhari dan lainnya, h. 15.
Hamid, Shalahuddin, MA., Drs., Study
Ulumul Quran, Jakarta Selatam : Intimedia Cipta Nusantara.
Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan
Zaman, Jakarta, Lantabora Press, 2005.
Khalafullah, Muhammad A., Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah Seni,
Sastra dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta, Paramadina,
2002.
Al-Qattan, Manna Khalil. Studi
Ilmu-IlmuQur’an. Jakarta. Pustaka Litera AntarNusa. 2006.
Mudzhar, M. Atho, Dr., H., Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan
Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
Syafi’i, Rachmat, MA., Prof. DR. H., Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung,
Pustaka Setia, 1973.
Syaitut, Mahmud, Al-Islam‘Aqidah wa Syari’ah, h. 14.
0 komentar:
Post a Comment