Tuesday 18 September 2012

Bahan Tambah Pangan


BAB V PEMBAHASAN
Menurut FAO dan WHO dalam kongres di Roma pada tahun 1956 menyatakan bahwa Bahan Tambahan Makanan adalah bahan-bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam jumlah sedikit yaitu untuk memperbaiki warna, bentuk, citarasa, tekstur, atau memperpanjang daya simpan. Sedangkan menurut Puspitasari (2001), Bahan Tambahan Pangan adalah senyawa (atau campuran berbagai senyawa) yang sengaja ditambahkan makanan dan minuman dalam proses pengolahan, pengemasan dan penyimpanan dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama. Tujuan penggunaan bahan tambahan makanan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan.


PENENTUAN BORAKS DALAM BAHAN PANGAN
            Boraks adalah bahan pengawet kayu dan antiseptik pengontrol kecoa. Fungsinya hampir sama dengan pestisida. Braks berbentuk serbuk kristal putih tanpa bau dan mudah larut dalam air.
            Boraks digunakan secara ilegal dalam industri makanan seperti baso dan kerupuk, karena mampu memberi efek bagus pada tekstur makanan. Baks dengan boraks menjadi kenyal, renyah, dan tahan lama. Kerupuk dengan boraks pun lebih renyah dan empuk.
Padahal boraks adalah bahan pembersih dan pengawet kayu, dengan fungsi antiseptik. Braks juga bisa menyebabkan gangguan otak, hati, lemak, dan ginjal. Dalam jumlah besar, boraks bisa mematikan, koma, depresi, kerusakan ginjal, dan kematian.
Uji nyala adalah salah satu metode pengujian untuk mengetahui apakah dalam makanan terdapat boraks atau tidak. Disebut uji nyala karena sampel yang digunakan dibakar uapnya, kemudian warna nyala dibandingkan dengan warna nyala boraks asli.
Sampel yang akan diidentifikasi apakah mengandung boraks atau tidak adalah sampel Bubur ayam. Sampel dimasukkan ke dalam cawan yang sudah dipijarkan dan di simpan di dalam desikatot. Kemudian sampel ditambahkan 1 mL H2SO4 pekat dan 5 mL metanol. Kemudian sampel dibakar permukaan cawannya dengan menggunakan korek api. Terlihat bahwa nyala yang dihasilkan tidak berwana hijau, sehingga dapat disimpulkan secara kualitatif bahwa sampel bubur ayam tersebut tidak mengandung boraks. Tentunya dengan kontrol positif sebelumnya telah diketahui bahwa serbuk boraks murni dibakar menghasilkan nyala api berwarna hijau. Jika sampel yang dibakar menghasilkan warna nyala hijau maka sampel dinyatakan positif mengandung boraks.
PENENTUAN FORMALIN DALAM BAHAN PANGAN
Formalin adalah berupa cairan dalam suhu ruangan, tidak berwarna, bau sangat menyengat, mudah larut dalam air dan alkohol. Formalin adalah nama dagang formaldehida yang dilarutkan dalam air dengan kadar 36 – 40 %.  Formalin biasa juga mengandung alkohol 10 – 15 % yang berfungsi sebagai stabilator supaya formaldehidnya tidak mengalami polimerisasi (http://oliveoile.wordpress.com/2008/01/07/formalin-boraks/).
Penggunaan formalin sebagai desinfektan, cairan pembalsem, pengawet jaringan, untuk pembunuh hama, pengawet mayat, bahan disinfektan dalam industri plastik, busa, dan resin untuk kertas, digunakan di indutri tekstil dan kayu lapis. Formalin tidak boleh digunakan sebagai bahan pengawet untuk makanan.
Formalin juga merupakan bahan kimia yang biasa digunakan dalam industri kayu lapis, dan digunakan sebagai bahan desinfektan pada rumah sakit. Formalin digunakan secara ilegal untuk bahan pengawet. Bahan pangan yang ditambahkan formalin bisa awet berhari-hari tanpa disimpan dalam lemari pendingin, sehingga dapat awet hingga 3-5 hari.
Makanan yang mengandung formalin dalam kadar serendah apapun akan berdampak berbahaya terhadap kesehatan. Formalin masuk ke dalam tubuh secara rutin dan terus menerus akan  mengakibatkan penumpukan pada tubuh. Penumpukan ini  antara lain mengakibatkan nikrosis, penciutan selaput lendir, terdapat kelainan pada hati, ginjal, jantung dan otak, serta mengakibatkan kegiatan sel berhenti. Sedangkan konsumsi formalin dalam dosis tinggi dapat mengakibatkan kejang-kejang, kencing darah dan muntah darah yang mengakibatkan kematian. Secara umum dampak penggunaan formalin pada manusia dapat menurunkan derajat kesehatan dan kemampuan daya tahan tubuh hidup manusia (Bakohumas, 2005). Absorpsi toksikan melalui saluran cerna adalah toksikan yang masuk kedalam saluran cerna dimana toksikan akan menuju lambung yang merupakan tempat penyerapan penting, lalu akan terikat dalam plasma dan diangkut yang kemudian akan diserap dari usus dengan sistem transport carrier. Formalin lebih bahaya lagi jika berakumulasi dalam alat pencernaan karena sulit dikeluarkan melalui feces atau urine.
Ada beberapa ciri untuk mendeteksi formalin, walaupun tidak terlampau khas untuk mengenali pangan berformalin, namun dapat membantu membedakannya dari pangan tanpa formalin.
1.      Tidak rusak sampai dua hari pada suhu kamar ( 25 derajat Celsius) dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10 derajat Celsius).
2.      Bau agak menyengat, bau formalin.
Tidak lengket , teksturnya sangat kenyal dan lebih mengkilap dibandingkan bahan pangan normal
3.      Bau agak mengengat, bau formalin (dengan kandungan formalin 0.5-1ppm).
Pada percobaan kali ini, peneliti menggunakan Kalium permanganat untuk mengetahui keberadaan formalin dalam sampel Bubur ayam secara kualitatif. Kalium permanganat dapat mengoksidasi formaldehid dalam frmalin ditandai dengan hilangnya warna ungu muda menjadi tidak berwarna.





Gambar 1 Bubur Ayam
 


Caranya bahan yang diduga mengandung formalin yaitu sampel bubur ayam dilarutkan dengan 5mL aquadest kemudian disaring dan filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi.  Kemudian filtrat ditambahkan 5 tetes KMnO4 0,02% dan dinamdingkan dengan kontrol yaitu 5 mL aquadest dan 5 tetes KMnO4. Ketika diamati perubahan warna yang terjadi terlihat bahwa warna ungu memudar dan lama kelamaan hilang.  Sehingga dapat disimpulkan bahwa Sampel Bubur ayam tersebut mengandung formalin (Widyaningsih dan Murtini., 2006).

Penentuan Zat Warna Sintetis
Menurut Winarno (1995), yang dimaksud dengan zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik. Menurut PERMENKES RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau member warna pada makanan.
Penentuan mutu dan bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya; disamping itu ada faktor lain, misalnya sifat mikrobiologis. Tetapi sebelum ada faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan menyimpang dari warna yang seharusnnya. Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cra pengolahan ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata (Winarno,1995).
Di indonesia tata cara atau undang-undang zat pewarna makanan belum ada. Sehingga cenderung terjadi penyalahgunaan dalamakaian zat pewarna. Misalnya, sering digunakan zat pewarna tanpa mencantumkan label dan merek. Sirup dengan warna yang mencolok dan indah, dikhawatirkan menggunakan zat pewarna tekstil dan pewarna kulit. Bila itu terjadi, sangat membahayakan kesehatan pemakainya, karena zat pewarna tekstil mengandung residu logam berat yang dapat merusak organ hati dan ginjal.
Untuk mengetahui kandungan pewarna makanan baik atau tidak dapat dilakukan pemeriksaan dengan metode kromatografi kertas. Zat pewarna alami dapat terelusi oleh air pada kromatgrafi kertas. Dari pemeriksaan diperoleh data bahwa pewarna yang diperiksa mengandung pewarna alami atau sintetis.




Gambar 2 Permen
 


Pemakaian zat pewarna pada makanan mempunyai aturan tersendiri yang diatur pada Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan nomor : 01415/b/sk/iv/91 tentang tanda khusus pewarna makanan. LPPOM MUI menyatakan, penggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional dapat menimbulkan masalah kesehatan. Namun penggunaan bahan pewarna alami pun jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat menjurus kepada bahan yang haram atau subhat (tak jelas kehalalannya). Meski demikian, pilihan terbaik tentu saja tetap pewarna alami, karena tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh. Perlu diingat kalau penggunaan bahan tambahan seperti pelapis pada pewarna harus dipilih dari bahan-bahan yang halal.
BAB VI KESIMPULAN
Hasil yang diperoleh dari beberapa pecobaan pada Analisi Bahan Tambahan Pangan secara Kualitatif, yaitu :
1.      Penentuan Zat Warna Sintetis pada Permen H Positif mengandung Pewarna Sintetis.
2.      Penentuan Boraks pada Sampel Bubur Ayam Negatif mengandung Boraks.
3.      Penentuan Formalin pada Sampel Bubur Ayam Positif mengandung Formalin.
BAB VII DAFTAR PUSTAKA
Azwar, A. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Baliwati, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Cahyadi,W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Tentang Tanda Khusus Pewarna Makanan. http://www.pom.go.id. Diakses pada tanggal 26 Januari 2012.
Hardiansyah,dkk. 2001. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Moehji, S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Bhratara, Jakarta.
Novia, DRM. 2010. Mewaspadai Pewarna Makanan. http://www.mirror.unpad.ac.id. Diakses pada tanggal 26 Januari 2012.
Purba, ER. 2009. Analisis Zat Pewarna Pada Minuman Sirup yang Dijual di Sekolah Dasar Kelurahan Lubuk Pakam III Kecamatan Lubuk Pakam. http://www.repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 26 Januari 2012.
Puspitasari, L. 2001. Analisis Bahaya dan Pencegahan Keracunan Pangan. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Seto, S. 2001. Pangan dan Gizi; Ilmu, Teknologi, Industri Dan Perdagangan. Institusi Pertanian Bogor, Bandung.
Sihombing, VM. 2008. Analisa Zat Pewarna Kuning Pada Tahu tang dijual di Pasar-pasar di Medan. http://www.repository.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 26 Januari 2012.
Slamet, S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Gajah Mada University, Yogyakarta.
Winarno. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Catatan Informatika